Jumat, 18 Juli 2008

MODEL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK

Latar Belakang
Kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang begitu pesat pada era globalisasi sekarang ini telah membawa perubahan yang sangat radikal dalam setiap sisi kehidupan. Perubahan itu telah berdampak pada semua aspek kehidupan, termasuk juga pada sistem pendidikan dan pembelajaran. Dampak dari perubahan yang luar biasa dan begitu cepatnya ini membuat manusia tidak bisa lagi hanya bergantung pada seperangkat nilai, keyakinan, dan pola aktivitas sosial yang konstan. Manusia dipaksa secara berkelanjutan dan terus menerus untuk menilai kembali posisi sehubungan dengan faktor-faktor tersebut dalam rangka membangun sebuah konstruksi sosial-personal yang memungkinkan atau yang tampaknya memungkinkan. Untuk mampu bertahan dalam menghadapi tantangan perubahan di dalam dunia pengetahuan, teknologi, komunikasi serta konstruksi sosial budaya ini, maka kita harus mengembangkan proses-proses baru untuk menghadapi masalah-masalah baru ini. Kita tidak dapat lagi bergantung pada jawaban-jawaban masa lalu karena jawaban-jawaban tersebut begitu cepatnya tidak berlaku seiring dengan perubahan yang terjadi. Pengetahuan, metode-metode, dan keterampilan-keterampilan menjadi suatu hal yang ketinggalan zaman hampir bersamaan dengan saat hal-hal ini memberikan hasilnya. Pada saat ini kita telah memasuki era kesemrawutan, suatu era yang datangnya begitu tiba-tiba dan tak seorang pun mampu menolaknya dimana harus masuk di dalamnya. Era kesemrawutan tidak dapat dijawab dengan paradigma keteraturan, kepastian, dan ketertiban. Era kesemrawutan harus dijawab dengan paradigma kesemrawutan. Era kesemrawutan ini dilandasi oleh teori dan konsep konstruktivistik; suatu teori pembelajaran yang kini banyak dianut di kalangan pendidikan di Amerika Serikat. Salah satu unsur terpenting dalam konstruktivistik adalah kebebasan dan keberagaman. Kebebasan yang dimaksud ialah kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan sesuai dengan apa yang mampu dan mau dilakukan oleh si pelaku belajar. Keberagaman yang dimaksud adalah si pelaku belajar menyadari bahwa secara individu dia berbeda dengan orang/kelompok lain, dan orang/kelompok lain berbeda dengan dirinya.
Pembelajaran konstruktivistik yang banyak memberikan kebebasan dan keberagaman kiranya perlu dikembangkan dalam pendidikan di negara kita sebagai salah satu upaya untuk melakukan perubahan dalam menghadapi perkembangan jaman. Kita yang selama ini lebih cenderung mengunakan model pembelajaran behavioristik yang berorientasi pada penyeragaman pada akhirnya banyak melahirkan manusia-manusia Indonesia yang sangat sulit menghargai perbedaan. Oleh sebab kiranya perlu bagi kita untuk membuka diri sehingga di masa mendatang kehidupan yang demokratis dapat tercipta dalam masyarakat kita. Selama ini kita beranggapan bahwa perilaku yang berbeda lebih dilihat sebagai suatu kesalahan yang harus dihukum, hal ini dikarenakan selama ini kita sudah terjangkit virus kesamaan, virus keteraturan, dan virus kemapanan sehingga virus ini pada akhirnya yang mengendalikan perilaku kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Melihat kondisi itu maka sudah saatnya bagi kita yang berkecimpung di dunia pendidikan khususnya untuk mengubah fokus kita selama ini dari apa yang perlu dipelajari menjadi bagaimana caranya untuk mempelajari. Perubahan yang harus terjadi adalah perubahan dari isi menjadi proses. Belajar bagaimana cara belajar untuk mempelajari sesuatu menjadi suatu hal yang lebih penting daripada fakta-fakta dan konsep-konsep yang dipelajari itu sendiri’. Oleh karena itu, pendidikan harus mempersiapkan para individu untuk siap hidup dalam sebuah dunia di mana masalah-masalah muncul jauh lebih cepat daripada jawaban dari masalah tersebut, di mana ketidakpastian dan ambiguitas dari perubahan dapat dihadapi secara terbuka, di mana para individu memiliki keterampilan-keterampilan yang diperlukannya untuk secara berkelanjutan menyesuaikan hubungan mereka dengan sebuah dunia yang terus berubah, dan di mana tiap-tiap dari kita menjadi pemberi arti dari keberadaan kita. Untuk mencapai hal tersebut maka tidak hanya berarti teknik-teknik baru dalam pendidikan, tetapi juga tujuan baru. Tujuan pendidikan haruslah untuk mengembangkan suatu masyarakat di mana orang-orang dapat hidup secara lebih nyaman dengan adanya perubahan daripada dengan adanya kepastian. Dalam dunia yang akan datang, kemampuan untuk menghadapi hal-hal baru secara tepat lebih penting daripada kemampuan untuk mengetahui dan mengulangi hal-hal lama. Kebutuhan akan orientasi baru dalam pendidikan saat ini terasa begitu kuat dan nyata dalam berbagai bidang studi, baik dalam bidang studi eksakta maupun ilmu-ilmu sosial. Para pendidik, praktisi pendidikan dan kita semua, mau tidak mau harus merespon perubahan yang terjadi dengan mengubah paradigma pendidikan. Untuk menjawab dan mengatasi perubahan yang terjadi secara terus-menerus, salah satu alternatif yang dapat digunakan adalah paradigmna konstruktivistik.
Hakikat Pembelajaran Behavioristik dan Pembelajaran Konstruktivistik
a. Hakikat Pembelajaran Behavioristik
Thornike, salah seorang penganut paham behavioristik, menyatakan bahwa belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang sisebut stimulus (S) dengan respon ® yang diberikan atas stimulus tersebut. Pernyataan Thorndike ini didasarkan pada hasil eksperimennya di laboratorium yang menggunakan beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, monyet, dan ayam. Menurutnya, dari berbeagai situasi yang diberikan seekor hewan akan memberikan sejumlah respon, dan tindakan yang dapat terbentuk bergantung pada kekuatan keneksi atau ikatan-ikatan antara situasi dan respon tertentu. Kemudian ia menyimpulkan bahwa semua tingkah laku manusia baik pikiran maupun tindakan dapat dianalisis dalam bagian-bagian dari dua struktur yang sederhana, yaitu stimulus dan respon. Dengan demikian, menurut pandangan ini dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon.
Selanjutnya, Thorndike mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hukum-hukum berikut: (1) Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila asosiasi antara stimulus dan respon serting terjadi, maka asosiasi itu akan terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hokum ini adalah semakin sering suatu pengetahuan – yang telah terbentuk akibat tejadinya asosiasi antara stimulus dan respon – dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat; (2) Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat. Hal ini berarti (idealnya), jika suatu respon yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia mengetahuinya, maka kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat.
Penganut paham psikologi behavior yang lain yaitu Skinner, berpendapat hampir senada dengan hukum akibat dari Thorndike. Ia mengemukakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus – respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif dan penguatan negatif. Penguatan positif sebagai stimulus, apabila representasinya mengiringi suatu tingkah laku yang cenderung dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu. Sedangkan penguatan negatif adalah stimulus yang dihilangkan/dihapuskan karena cenderung menguatkan tingkah laku .
b. Hakikat pembelajaran Konstruktivisme
Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi.
Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.
Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar.
Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu:
1) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan
2) mengutamakan proses
3) menanamkan pembelajran dalam konteks pengalaman sosial
4) pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman.
Hakikat pembelajaran konstruktivistik bahwa pengetahuan adalah non-objectif, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.
Aspek-aspek Pembelajaran Konstruktivistik
Fornot mengemukakan aaspek-aspek konstruktivitik meliputi: adaptasi (adaptation), konsep pada lingkungan (the concept of envieronmet), dan pembentukan makna (the construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut oleh J. Piaget bermakna yaitu adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru perngertian orang itu berkembang.
Akomodasi, dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bias jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan (disequilibrium). Akibat ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.
Tingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotsky disebut sebagai scaffolding. Scaffolding, berarti memberikan kepada seorang individu sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal meraih keberhasilan. Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang yang lebih tinggi menjadi optimum.
Konstruktivisme Vygotsky memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan memalui adaptasi intelektual dalam konteks sosial budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual.
Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah: (1), mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi sosial yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan, (2) zona of proximal development. Pembelajar sebagai mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka. Zona of proximal development adalah daerah antar tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.
Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara sosial dalam dialog dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah dialog antar pribadi.dalam hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Pembelajaran yang sifatnya kooperatif (cooperative learning) ini muncul ketika siswa bekerja sama untuk mencapai tujuan belajar yang diinginka oleh siswa. Pengelolaan kelas menurut cooperative learning bertujuan membantu siswa untuk mengembangkan niat dan kiat bekerja sama dan berinteraksi dengna siswa yang lain. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas yaitu: pengelompokan, semangat kooperatif dan penataan kelas.
Rancangan Pembelajaran Konstruktivistik
Berdasarkan teori J. Peaget dan Vygotsky maka pembelajaran dapat dirancang/didesain model pembelajaran konstruktivis di kelas sebagai berikut:
a. Pertama, identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi. Identifikasi awal terhadap gagasan intuitif yang mereka miliki terhadap lingkungannya dijaring untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan akan munculnya miskonsepsi yang menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi ini dilakukan dengan tes awal, interview
b. Kedua, penyusunan program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
c. Ketiga perlunya diciptakan situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan pada awal-awal pembelajaran untuk membangkitkan minat mereka terhadap topik yang akan dibahas. Siswa dituntun agar mereka mau mengemukakan gagasan intuitifnya sebanyak mungkin tentang gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam lingkungan hidupnya sehari-hari. Pengungkapan gagasan tersebut dapat melalui diskusi, menulis, ilustrasi gambar dan sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut kemudian dipertimbangkan bersama. Suasana pembelajaran dibuat santai dan tidak menakutkan agar siswa tidak kawatir dicemooh dan ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah. Guru harus menahan diri untuk tidak menghakiminya. Kebenaran akan gagasan siswa akan terjawab dan terungkap dengan sendirinya melalui penalarannya dalam tahap konflik kognitif.
d. Keempat, refleksi. Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifat miskonsepsi yang muncul pada tahap orientasi dan elicitasi direflesikan dengan miskonsepsi yang telah dijaring pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan tingkat kesalahan dan kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasikannya.
e. Kelima, resrtukturisasi ide, (a) tantangan, siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-gejala yang kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. Mereka diminta untuk meramalkan hasil percobaan dan memberikan alas an untuk mendukung ramalannya itu. (b) konflik kognitif dan diskusi kelas. Siswa akan daapt melihat sendiri apakah ramalan mereka benar atau salah. Mereka didorong untuk menguji keyakinan dengan melakukan percobaan. Bila ramalan mereka meleset, mereka akan mengalami konflik kognitif dan mulai tidak puas dengan gagasan mereka. Kemudian mereka didorong untuk memikirkan penjelasan paling sederhana yang dapat menerangkan sebanyak mungkin gejala yang telah mereka lihat. Usaha untuk mencari penjelasan ini dilakukan dengan proses konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau guru yang pada kapasistasnya sebagai fasilitator dan mediator. (c) membangun ulang kerangka konseptual. Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu memiliki konsistensi internal. Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu memiliki keunggulan dari gagasan yang lama.
f. Keenam, aplikasi. Menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep ilmiahnya tersebut dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif dan kemudia menguji penyelesaian secara empiris. Mereka akan mampu membandingkan secara eksplisit miskonsepsi mereka dengan penjelasan secara keilmuan.
g. Ketujuh, review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah berlangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran. Revisi terhadap strategi pembelajaran dilakukan bila miskonsepsi yang muncul kembali bersifat sangat resisten. Hal ini penting dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut tidak selamanya menghinggapi struktur kognitif, yang pada akhirnya akan bermuara pada kesulitan belajar dan rendahnya prestasi siswa bersangkutan.
Penerapan dalam Pembelajaran di Kelas
Pandangan bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan secara alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak "mengalami" sendiri apa yang dipelajarinya, bukan "mengetahui"-nya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi "mengingat" jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memcahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Dan itulah yang terjadi di kelas-kelas sekolah kita. Pendekatan kontekstual (contextual teaching and learning/CTL) adalah suatu pendekatan pengajaran yang dari karakteristiknya memenuhi harapan itu. Sekarang ini pembelajaran dan pengajaran kontekstual menjadi tumpuan harapan para ahli pendidikan dan pengajaran dalam upaya "menghidupkan" kelas secara maksimal. Kelas yang "hidup" diharapkan dapat mengimbangi perubahan yang terjadi di luar sekolah yang demikian cepat.
Pendekatan kontekstual merupakan suatu konsep belajar di mana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapanya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep ini hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa
Pembelajaran kontekstual menempatkan siswa di dalam konteks bermakna yang menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang sedang dipelajari dan sekaligus memperhatikan faktor kebutuhan individual siswa dan peranan guru. Pembelajaran kontekstual menekankan pada :
a. Belajar Berbasis Masalah (Problem-Based Learning), yaitu suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan maslah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi pelajaran. Dalam hal ini siswa terlibat dalam penyelidikan untuk pemecahan masalah yang mengintegrasikan keterampilan dan konsep dari berbagaui isi materi pelajaran. Pendekatan ini mencakup pengumpulan informasi yang berkaitan dengan pertanyaan, mensintesis, dan mempresentasikan penemuannya kepada orang lain
b. Pengajaran Autentik (Authentic Instruction) yaitu pendekatan pengajaran yang memperkenankan siswa mempelajari konteks bermakna. Ia mengembangkan keterampilan berpikir dan pemecahan masalah yang penting di dalam konteks kehidupan nyata
c. Belajar Berbasis Inquiri (Inquiry-Based Learning) yang membutuhkan strategi pengajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna
d. Belajar Kooperatif (Cooperative Learning) yang memerlukan pendekatan pengajaran melalui penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar. Perlu dikembangkan dalam proses pembelajaran di kelas adalah perpaduan antara kooperatif dan kolaboratif. Hal ini dengan dasar pertimbangan bahwa dalam pembelajaran kooperatif target utama adalah hasil kerja kelompok sedangkan kemampuan individu kurang terpantau. Dengan perpaduan kolaboratif diharapkan siswa/kelompok yang pandai akan memberikan bantuan kepada siswa/kelompok yang lebih lemah sehingga diharapkan hasil yang diperoleh akan relatif berimbang meskipun tidak mungkin sama.
Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswanya sehubungan dengan topik yang akan dipelajarinya. Dalam program tercermin tujuan pembelajaran, media untuk mencapai tujuan tersebut, materi pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, dan authentic assessmennya.Dalam konteks itu, program yang dirancang guru benar-benar rencana pribadi tentang apa yang akan dikerjakannya bersama siswanya. Secara umum tidak ada perbedaan mendasar format antara program pembelajaran konvensional dengan program pembelajaran kontekstual, yang membedakannya hanya pada penekanannya. Program pembelajaran konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), sedangkan program untuk pembelajaran kontekstual lebih menekankan pada skenario pembelajarannya. Atas dasar itu, saran pokok dalam penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berbasis kontekstual adalah sebagai berikut.
a. Nyatakan kegiatan pertama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan kegiatan siswa yang merupakan gabungan antara Standar Kompetensi, Kompetensi dasar, Materi Pokok dan Pencapaian Hasil Belajar.
b. Nyatakan tujuan umum pembelajarannya.
c. Rincilah media untuk mendukung kegiatan itu
d. Buatlah skenario tahap demi tahap kegiatan siswa
e. Nyatakan authentic assessmentnya, yaitu dengan data apa siswa dapat diamati partisipasinya dalam pembelajaran.
Strategi pembelajaran yang harus dipilih dan diterapkan oleh guru harus memenuhi persyaratan :
a. Menekankan pada pemecahan masalah/problem. Pengajaran kontekstual dapat dimulai dengan suatu simulasi atau masalah nyata. Dalam hal ini siswa menggunakan keterampilan berpikir kritis dan pendekatan sistematik untuk menemukan dan nmengungkapkan masalah atau isu-isu , dan mungkin juga me4nggunakan berbagai isi materi pembelajaran untk menyelesaikan masalah. Maslah yang dimaksud adalah yang relevan dengan keluarga siswa, pengalaman, sekolah, tempat kerja, dan masyarakat, yang memiliki arti penting bagi siswa
b. Mengakui kebutuhan pembelajaran terjadi diberbagai konteks, misalnya rumah, masyarakat dan tempat kerja. Pembelajaran kontekstual menyarankan bahwa pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari fisik dan konteks sosialana ia berkembang. Bagaimana dan di mana siswa memperoleh dan memunculkan pengetahuan selanjutnya menjadi sangat berarti, dan penmgalaman belajarnya akan diperkaya jika ia mempelajari keterampilan di dalam konteks yang bervariasi (rumah, masyarakat, tempat kerja, dan keluarga)
c. Mengontrol dan mengarahkan pembelajaran siswa, sehingga mereka menjadi pembelajar yang mandiri (self-regulated learning). Akhirnya siswa mharus menjadi pembelajar sepanjang hayat yang mampu mencari, menganalisis, dan menggunakan informasi tanpa atau dengan sedikit bimbingan, dan semakin menyadari bagaimana mereka me4mproses informasi, menggunakan strategi pemecahan masalah, serta memanfaatkannya. Untuk mencapai itu melalui pengajaran kontekstual, siswa harus diperkenankan melakukan ujicoba (trial and error) menggunakan waktu dan struktur materi untuk refleksi, dan memperoleh dukungan yang cukup serta bantuan untuk berubah dari pembelajar dependen menjadi pembelajar yang independen
d. Bermuara pada keragaman konteks hidup yang dimiliki siswa. Secara menyeluruh ternyata populasi siswa sangatlah beragam ditinjau dari perbedaan dalam nilai, adat istiadat sosial dan perspektif. Di dalam proses pembelajaran kontekstual, perbedaan tersebut dapat menjadi daya pendorong untuk belajar dan sekaligus menambah kompleksitas pembelajaran itu sendiri. Kerjasam tim dan aktivitas kelompok belajar di dalam proses pembelajaran kontekstual sangatlah menghargai keragaman siswa, memperluas perspektif, dan membangun keterampilan interpersonal.
e. Mendorong siswa untuk belajar dari sesamanya dan bersama-sama atau menggunakan kelompok belajar independen (interdependent learning group). Siswa akan dipengaruhi dan sekaligus berkontribusi terhadap pengetahuan dan kepercayaan orang lain. Kelompok belajar atau komunitas pembelajaran akan terbentuk di dalam kerja dari sekolah kaitannya dengan suatu usaha bersama-sama memakai pengetahuan, memusatkan pada tujuan pembelajaran, dan memperkenankan semua orang untuk belajar belajar dari sesamanya. Dalam hal ini para pendidik harus bertindak sebagai fasilitator, pelatih dan pembimbing akademis
f. Menggunakan penilaian autentik (autehentic assessment) Pembelajaran kontekstual diharapkan membangun pengetahuan dan keterampilan dengan cara yang bermakna melalui pengikutsertaan siswa ke dalam kehidupan nyata atau konteks autentik. Untuk proses pembelajaran yang demikian itu, diperlukan suatu bentuk penilaian yang didasarkan pada metodologi dan tujuan dari pembelajaran itu sendiri, yang disebut dengan penilaian autentik. Penilaian autentik menunjukkan bahwa pembelajaran telah terjadi; menyatu ke dalam proseas belajar mengajar; dan memberikan kesempatan dan arahan kepada siswa untuk maju; dan sekaligus dipergunakan sebagai alat kontrol untuk melihat kemajuan siswa dan umpan balik bagi praktek pengajaran.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan pembelajaran kontekstual di kelas :
No
Aspek
Indikator
Deskriptor
1.
Membuka pelajaran
Apersepsi
1. Membuka pelajaran dengan doa/salam/memeriksa kehadiran Peserta
2. Mengajukan pertanyaan/menggali informasi berkaitan dengan kompetensi yang akan dicapai
3. mengemukakan kompetensi yang akan dicapai dalam kegiatan pembelajaran
4. Mengkaitkan peran/manfaat penguasaan kompetensi dalam kehidupan Peserta
2.
Melaksanakan kegiatan inti
Penggunaan metode
1. Metode yang digunakan melibatkan Peserta mengalami/melakukan aktivitas pembelajaran sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai
2. Metode yang digunakan melibatkan Peserta menemukan prosedur/konsep/prinsip/karakteristik berkaitan dengan kompetensi yang akan dicapai
3. Metode yang digunakan melibatkan Peserta menerapkan apa yang telah ditemukan dalam situasi yang baru/konteks yang berbeda
4. Metode yang digunakan mengharuskan guru untuk mengukuhkan temuan Peserta


Penggunaan media
1. Menggunakan media yang otentik
2. Memberdayakan media yang ada disekililing Peserta, yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat
3. Media yang digunakan sesuai untuk mencapai kompetensi yang akan dicapai
4. Media yang digunakan memungkinkan Peserta melakukan pengamatan, bertanya,mengumpulkan data,menganalisis data dan menarik kesimpulan


Penguasaan kompetensi
1. Guru mendemonstrasikan perilaku pembelajaran yang seharusnya dikuasai Peserta melalui contoh/pemodelan
2. Tugas yang diberikan kepada Peserta mencerminkan tahapan untuk mencapai kompetensi yang seharusnya dikuasai Peserta
3. Guru memberikan balikan secara jelas terhadap perilaku pembeelajaran yang sesuai/tidak sesuai dengan kompetensi yang seharusnya dikuasai Peserta
4. Guru dapat merespon pertanyaan dan komentar Peserta secara tepat dan memadai


Pembelajaran menyenangkan
1. Guru memberdayakan permainan/humor/metode yang bervariasi untuk menyegarkan suasana
2. Peserta yang banyak melakukan aktivitas pembelajaran dan Peserta melaksanakan aktivitas pembelajaran dengan gembira
3. Peserta tidak takut mengajukan pertanyaan/saran/pendapat
4. Peserta tidak takut mengekspresikan kegembiraan,misalnya dengan bertepuk tangan


Keterkaitan metode dengan pengembangan kecakapan
1. Metode yang digunakan melibatkan Peserta untuk melakukan kerjasama (Learning community)
2. Metode yang digunakan mendorong Peserta untuk mengajukan pertanyaan/pendapat kritis dan kreatif.
3. Metode yang digunakan bersifat menantang,sehingga mendorong Peserta melakukan aktivitas secara sungguh-sungguh dan antusias
4. Metode yang digunakan mendorong Peserta untuk mempertahankan pendpat dan berpendapat yang berbeda
3.
Refleksi dan penilaian
Refleksi
1. Guru mendorong Peserta mengungkapkan apa yang telah dipelajari
2. Guru mendorong Peserta mengungkapkan kesan-kesan berkaitan dengan pembelajaran yang telah dilaksanakan
3. Guru mendorong Peserta mengungkapkan saran untuk perbaikan pembelajaran
4. Gru memberikan penguatan/pujian terhadap upaya/kerja keras yang telah dilakukan Peserta


Penilaian
1. Guru melakukan penilaian sesuai dengan kompetensi yang seharusnya dicapai
2. Kriteria penilaian jelas dan dapat diukur
3. Guru memberi kesempatan Peserta untuk melakukan self-assesment (penilaian diri sendiri)/peer -assesment (penilaian antar teman) dengan kriteria yang telah ditetapkan
4. Penilaian dilaksanakan selama dan setelah aktivitas pembelajaran (proses dan produk)

4. Faktor penunjang
Penggunaan bahasa
1. ucapan jelas dan mudah dipahami
2. Menggunakan kosakta dan tata bahasa baku
3. Kalimat-kalimat yang digunakan bervariasi, tidak monoton
4. Pembicaraan lancar, tidak tersendat-sendat


Rasa percaya diri
1. Tatapan mata dan gerak tubuh menunjukkan sikap tenang
2. Nada suara dan intonasi menunjukkan sikap tegas,optimis dan tidak ragu-ragu
3. Merespon setiap pertanyaan,tanggapan atau saran dari Peserta dengan emosi yang stabil (tidak larut dalam emosi)
4. Semua pertanyaan,tanggapan atau saran dijawab dengan tenang, tidak gugup dan penuh rasa optimis


Penutup
Berdasarkan uraian di atas maka untuk mengatasi beraneka ragam persoalan dalam pembelajaran yang semakin rumit, maka pembelajaran behavioristik yang selama ini telah digunakan selama bertahun-tahun, tampaknya tidak mampu lagi menjawab semua persoalan pembelajaran, maka perlu dicari alternatif pembelajaran yang lebih mampu mengatasi semua persoalan pembelajaran yang ada, salah satunya adalah model konstruktivistik yang telah diuraikan. Model ini menghargai perbedaan, menghargai keunikan invidu, menghargai keberagaman dalam menerima dan memaknai pengetahuan. Salah satu pendekatan yang bernafaskan kontruktifis dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas adalah contextual teaching and learning/CTL. Pendekatan ini mempunyai tujuh prinsip yang memungkinkan siswa berkembang dan belajar bersama-sama dan bukan hanya menerima informasi dari guru, yaitu :
a. Konstruktivisme
1) Membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal.
2) Pembelajaran harus dikemas menjadi proses "mengkonstruksi" bukan menerima pengetahuan
b. Inquiry
1) Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman.
2) Siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis
c. Questioning (Bertanya)
1) Kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa.
2) Bagi siswa yang merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiry
d. Learning Community (Masyarakat Belajar)
1) Sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar.
2) Bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri.
3) Tukar pengalaman.
4) Berbagi ide
e. Modeling (Pemodelan)
1) Proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja dan belajar.
2) Mengerjakan apa yang guru inginkan agar siswa mengerjakannya
f. Reflection ( Refleksi)
1) Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari.
2) Mencatat apa yang telah dipelajari.
3) Membuat jurnal, karya seni, diskusi kelompok
g. Authentic Assessment (Penilaian Yang Sebenarnya)
Namun perlu menjadi catatan sebaik apapun suatu model/pendekatan pembelajaran, hanya akan berhasil dengan baik apabila guru sebagai sutradara dalam proses pembelajaran di kelas mempunyai kemauan dan kesungguhan dalam pelaksanaannya. Tanpa adanya hal tersebut maka semua hanya sebuah angan yang akan semakin melayang dan sulit untuk digapai. Walahualam.